Kata bioskop berasal dari bahasa Yunani, bioscoop, yang berarti "gambar hidup". Bioskop berperan sebagai wadah bagi masyarakat untuk menikmati pertunjukan film. Di dalam bioskop, mereka mencurahkan segala perhatian dan perasaannya kepada gambar hidup yang disaksikan seolah-olah mereka menyaksikan cerita yang terjadi di hadapannya.
Bioskop juga dikenal sebagai tempat yang berukuran besar dan digunakan untuk menonton pertunjukan film menggunakan layar yang juga besar. Gambar pada rol-rol fi lm itu diproyeksikan oleh alat bernama proyektor sehingga gambar dapat dilihat dengan jelas pada layar lebar tersebut.
Sejarah bioskop dimulai pada 1895, ketika Robert Paul mendemonstrasikan kepada masyarakat London mengenai kemampuan proyektor film. Alat itu membuat serangkaian gambar statis (still photo) yang disorot ke layar serta-merta menjadi gambar hidup (moving image).
Sebelum gedung bioskop mulai bertebaran di Indonesia, masyarakat sudah lebih dulu mengenal istilah layar lebar dan film. Anda mungkin pernah mengalami masa kejayaan layar tancap. Yang membedakan layar tancap dengan bioskop hanyalah sarana dan prasarananya.
Jika di bioskop kita betah karena kursi yang empuk, berpendingin ruangan, toilet, dan sebagainya, pada layar tancap kenyaman an itu hanya impian. Masyarakat yang ingin menyaksikan film layar tancap harus rela duduk beralaskan koran, dan jika hujan turun, pertunjukan akan berhenti seketika (gerimis bubar/misbar). ger/R-2
Alami Masa Fluktuasi
Dalam hal kemunculan gedung bioskop, Hindia-Belanda (5 Desember 1900) lebih dulu dibanding Korea (1903) maupun Italia (1905). Namun, dalam pembuatan film cerita, Indonesia justru tertinggal dibanding Italia (La Presa di Roma, 1905), dan Korea dengan Righteous Revenge-nya pada 1919. Apalagi jika dibanding dengan Uni Soviet (Stenka Razin, 1908) dan India (Rajah Harishandra, 1913).
Baru sejak 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 untuk pertama kalinya Loetoeng Kasaroeng, film lokal pertama yang menjadi tonggak industri sinema di Indonesia, diputar. Film yang diproduksi NV Java Film Company itu juga diputar di Bioskop Majestic, Jalan Braga, Bandung. Pemutaran film dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar, di pelataran bioskop sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola dimainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian.
Menjelang film akan diputar, orkes mini beralih fungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum, pada pertengahan 1920-an, film masih merupakan film bisu. Namun, pada masa itu, sopan santun dan etika menonton sangat dijaga. Di bioskop Majestic, tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.
Sepanjang 1920-1930, film-film yang masuk ke Hindia Belanda berasal dari AS (Hollywood), Eropa (Belanda, Prancis, Jerman), dan Cina (legenda Tiongkok Asli). Beberapa fi lm yang kala itu menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo, Charlie Chaplin, Max Linder, dan Arsene Lupin. Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), HM Johan Tjasmadi, dalam bukunya, 100 Tahun Bioskop di Indonesia, menulis bahwa pada 1936 terdapat 225 bioskop yang ada di Hindia Belanda.
Bioskop-bioskop tersebut ada di Bandung (9 bioskop), Jakarta (13 bioskop), Surabaya (14 bioskop), dan Yogyakarta (6 bioskop). Sesudah itu, keadaan bukannya meningkat, malah menurun. Sebelum Jepang masuk, ada sekitar 300 gedung bioskop di Indonesia.
Semasa rezim Jepang pada 1942-1945, jumlah itu berkurang tinggal 52 gedung yang tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Banyak gedung bioskop beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan bahan pokok. Pasca kemerdekaan, muncul tiga lembaga perfilman, yaitu Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
Pada 1951, diresmikan bioskop Metropole yang berka pasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, serta bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. Pada Desember 1970, Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) dan beberapa organisasi sejenis sepakat melebur menjadi GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia).
Akibat dibukanya kesempatan mengimpor film, pada 1969-1970, di Indonesia tercatat berdiri 653 bioskop. Jumlah itu meningkat pada 1973 menjadi 1.081 unit. Pada 1987, mulai diperkenalkan bioskop cineplex yang dikenal sebagai "21" (Twenty One), yang dikelola perusahaan Subentra milik pengusaha Sudwikatmono. Kartika Chandra Theatre di Jalan Jenderal Gatot Subroto adalah salah satu bioskop yang pertama kali memperkenalkan konsep satu gedung bioskop berisi empat ruang teater.
Penjaga loket dan pintu bioskop terdiri dari wanita-wanita cantik dengan baju batik dan rok panjang. Jumlah cineplex makin banyak hingga ke kota lain. Cineplex dibangun di pusat perbelanjaan, kompleks pertokoan, atau dalam mal yang notabene menjadi tempat menongkrong anak muda.
Semenjak itulah bioskop-bioskop lain mulai bermunculan di Indonesia, seperti XXI dan The Premiere pada 2000-an, disusul Blitzmegaplex pada 2007 dengan teknologi audio-visual yang lebih canggih dan pelayanan yang lebih menyenangkan serta dipadukan dengan sarana lain, seperti restoran. ger/R-2
Bermula dari Usaha Kecil
Bioskop pertama kali muncul di Indonesia pada 1900. Bisa dipastikan Belanda-lah yang memperkenalkan bioskop kepada masyarakat Indonesia. Awal masuk ke Indonesia, bioskop tidak memiliki fasilitas yang menyenangkan seperti sekarang ini. Pengusaha bioskop pertama di Batavia adalah seorang Belanda bernama Talbot. Sejarah perbios kopan di Indonesia bermula di sekitar lapangan Gambir (kini Monas).
Bioskop didesain menyerupai bangsal berdinding gedek dan beratapkan seng. Pada masa itu, film disebut gambar idoep. Pertunjukan film pertama digelar di Tanah Abang. Film yang saat itu masih dikategorikan sebagai film dokumenter menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag.
Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap mahal sehingga pada 1 Januari 1901 harga karcis dikurangi hingga 75 persennya untuk merangsang minat penonton. Pertunjukan gambar idoep mulai diperlihatkan kepada khalayak luas, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, dan Lapangan Stasiun Kota.
Konsep bioskop ketika itu sangat sederhana, yaitu hanya sebuah tempat yang dibatasi dinding bilik tanpa atap. Mungkin seperti layar tancap sekarang. Berikutnya muncul De Callone. Dia mengusahakan bioskop di Deca Park, sekitar Gambir. Bioskop De Callone mula-mula berupa bioskop terbuka di lapangan. De Callone adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang menempati gedung di sekitar Pintu Air.
Beberapa tahun berselang, setelah pertunjukan film tambah diminati, barulah orang-orang Cina terjun ke bisnis perbioskopan. Pengusaha Cina, Tio Tek Hong, mendirikan bioskop Elite (1903) tidak jauh dari Capitol. Elite dan Capitol ditujukan untuk penonton kelas atas, sementara Deca Park untuk penonton kelas menengah. Untuk penonton kalangan bawah, didirikan Rialto Senen dan Rialto Tanah Abang.
Sekadar gambaran, harga karcis zaman itu untuk tiket kelas I 2 gulden, kelas II 1 gulden, dan kelas III 50 sen. Pada 1936, di Batavia, tercatat berdiri 13 gedung bioskop. ger/R-2
Wednesday, April 17, 2013
Menelusuri Kiprah si Layar Lebar
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment